Pasal 2 Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara (“Permenhub 77/2011”)* memberikan jaminan bahwa pengangkut yang mengoperasikan pesawat udara wajib bertanggung jawab atas kerugian terhadap:
a. Penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka;
b. Hilang atau rusaknya bagasi kabin;
c. Hilang, musnah, atau rusaknya bagasi tercatat;
d. Hilang, musnah, atau rusaknya kargo;
e. Keterlambatan angkutan udara; dan
f. Kerugian yang diderita oleh pihak ketiga.
Berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang ada, dalam hal penumpang, pemilik
bagasi kabin, pemilik bagasi tercatat, pengirim kargo dan/atau ahli
waris penumpang menderita kerugian, pihak-pihak tersebut dapat
mengajukan gugatan terhadap pengangkut melalui pengadilan negeri di
wilayah Indonesia dengan menggunakan hukum Indonesia (lihat Pasal 176 UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan - “UU Penerbangan”).
Gugatan dapat diajukan di Pengadilan Negeri tempat pembelian tiket,
atau bandara tujuan atau kantor pusat maskapai atau perwakilannya.
Menyangkut tanggung jawab pengangkut udara kita juga perlu merujuk pada Konvensi Warsawa 1929 tentang Convention for the Unification of Certain Rules Relating to International by Air**. Terkait hal ini, dikutip pendapat K. Martono, ahli Hukum Penerbangan Udara Sekolah Tinggi Manajemen Transportasi Trisakti. Dalam artikel tersebut antara lain ditulis:
“Khusus
mengenai tanggung jawab pengangkut udara untuk memberikan ganti rugi
kepada penumpang, masih menurut Martono, Konvensi Warsawa menerapkan
konsep presumption of liability. Atau jika di-Indonesiakan lebih kurang berarti asas praduga bersalah.
“Dengan
konsep praduga bersalah tersebut, perusahaan penerbangan harus
bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi kepada penumpang. Konsep
ini, tambah Martono, membawa implikasi pada beban pembuktian di
persidangan. Dalam konsep praduga bersalah ini, perusahaan penerbangan
harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. ‘Inilah yang dimaksud
dengan pembuktian terbalik,’ urainya.
Masih dalam artikel yang sama dijelaskan pula bahwa:
“Meski
begitu, tanggung jawab maskapai penerbangan dalam konsep ini terbatas.
Hal tersebut dinyatakan secara tegas dalam Pasal 22 Konvensi Warsawa
yang mengatur mengenai jumlah ganti rugi yang harus dibayarkan kepada
penumpang sebesar 125 ribu franck Perancis atau setara AS$ 20 ribu.
Namun, sambung Martono, ceritanya akan berbeda jika penumpang bisa membuktikan bahwa perusahaan penerbangan melakukan kesalahan dengan sengaja (wishful misconduct) maka tanggung jawab maskapai menjadi tidak terbatas alias unlimited liability.
Contoh dari wishful misconduct adalah
ketika perusahaan tidak membawa jaket keselamatan atau menyediakan
oksigen di dalam pesawatnya. ‘Padahal itu adalah salah satu komponen
keselamatan yang harus disediakan perusahaan penerbangan karena
keselamatan atau safety adalah prinsip utama,’ Martono mencontohkan.”
Pendapat di atas senada dengan pengaturan dalam Pasal 23 Permenhub 77/2011,
yang menyebutkan bahwa dalam hal penumpang yang dirugikan merasa tidak
puas atas besaran ganti kerugian yang diatur peraturan tersebut,
penumpang dapat menuntut ganti kerugian melalui arbitrase atau
alternatif penyelesaian sengketa lain sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Dalam
menuntut ganti kerugian, penumpang dan/atau pengirim barang serta pihak
ketiga yang mengalami kerugian harus memiliki bukti sebagai berikut
(lihat Pasal 21 ayat [1] Permenhub 77/2011):
ConversionConversion EmoticonEmoticon