Ada pepatah yang mengatakan "Time is Money", dan karena alasan itu maka
banyak orang memilih menggunakan alat transportasi udara ketika
bepergian. Jika dibandingkan dengan transportasi darat seperti kereta
api atau bus dan transportasi laut seperti kapal laut, waktu tempuh
jarak berpergian memang menjadi lebih singkat dengan menggunakan pesawat
udara. Dengan maraknya bertambahnya jumlah maskapai penerbangan yang
menawarkan low cost airline, jumlah penerbangan ke daerah-daerah
tertentu meningkat. Akan tetapi bukannya kepuasaan penumpang yang sering
terdengar di bandara mana pun di Indonesia melainkan gerutu kekesalan
dan caci maki penumpang kepada maskapai penerbangan atau pengangkut
penumpang udara yang tidak bisa memenuhi komitmen terbang pada waktu
yang ditentukan.
Adalah sangat memprihatinkan bahwa saat ini sepertinya sudah menjadi lumrah bagi pesawat terbang terlambat berangkat atau tiba. Apabila ada pesawat yang berangkat tepat waktu atau 5-10 menit terlambat maka maskapai pesawat tersebut dianggap luar biasa. Para penumpang pesawat Indonesia bukan saja dihadapkan pada tidak adanya komitmen pemenuhan waktu terbang dari pengangkut, tetapi juga dengan minimnya pelayanan informasi keterlambatan bagi para penumpang. Sering kali, penumpang dibiarkan menunggu berjam-jam di bandara dengan alasan penerbangan tidak bisa dilakukan karena “alasan operasional”. Apabila ditanyakan kepada petugas darat pengangkut tentang kapan pesawat dapat diberangkatkan, biasanya tidak ada jawaban yang memadai.
Adalah sangat memprihatinkan bahwa saat ini sepertinya sudah menjadi lumrah bagi pesawat terbang terlambat berangkat atau tiba. Apabila ada pesawat yang berangkat tepat waktu atau 5-10 menit terlambat maka maskapai pesawat tersebut dianggap luar biasa. Para penumpang pesawat Indonesia bukan saja dihadapkan pada tidak adanya komitmen pemenuhan waktu terbang dari pengangkut, tetapi juga dengan minimnya pelayanan informasi keterlambatan bagi para penumpang. Sering kali, penumpang dibiarkan menunggu berjam-jam di bandara dengan alasan penerbangan tidak bisa dilakukan karena “alasan operasional”. Apabila ditanyakan kepada petugas darat pengangkut tentang kapan pesawat dapat diberangkatkan, biasanya tidak ada jawaban yang memadai.
Definisi Keterlambatan
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 (UU Penerbangan) suatu kejadian dalam penerbangan dikatakan mengalami keterlambatan apabila terdapat perbedaan antara waktu keberangkatan/kedatangan yang dijadwalkan dengan realisasi waktu keberangkatan/kedatangan sebenarnya (Pasal 1 Angka 30 UU Penerbangan). Suatu kejadian dimana terdapat perbedaan 5-10 menit waktu keberangkatan/kedatangan dengan yang dijadwalkan di tiket pesawat maka kejadian tersebut merupakan suatu kejadian keterlambatan.
Tanggung Jawab Keterlambatan
Pasal 146 UU Penerbangan menetapkan bahwa pihak maskapai penerbangan atau pengangkut harus bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi, atau kargo. Yang menarik adalah Pasal 146 UU Penerbangan ini memberikan suatu kekecualian dimana tanggung jawab pengangkut atas kerugian karena keterlambatan bisa tidak berlaku apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional.
Selanjutnya, Pasal 36 Peraturan Menteri Perhubungan No. 25 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara (Permenhub 25/2008) mengatur tentang jenis ganti rugi yang wajib diberikan oleh pengangkut kepada penumpang sebagai berikut:
--> Keterlambatan lebih dari 30-90 menit, perusahaan angkutan udara niaga berjadwal wajib memberikan minuman dan makanan ringan; --> Keterlambatan lebih dari 90-80 menit, perusahaan angkutan udara niaga berjadwal wajib memberikan minuman, makanan ringan, makan siang/malam, serta wajib memindahkan penumpang ke penerbangan berikutnya atau ke perusahaan angkutan udara niaga berjadwal lainnya, apabila diminta oleh penumpang; dan --> Keterlambatan lebih dari 180 menit, perusahaan angkutan udara niaga berjadwal wajib memberikan minuman, makanan ringan, makan siang/malam serta apabila penumpang tersebut tidak dapat dipindahkan ke penerbangan berikutnya atau ke perusahaan angkutan udara niaga berjadwal lainnya, maka kepada penumpang tersebut wajib diberikan fasilitas akomodasi untuk dapat diangkut pada penerbangan hari berikutnya.
Secara serupa, ketentuan Pasal 2(e) Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara (Permenhub 77/2011) juga menetapkan bahwa kerugian yang diderita oleh penumpang oleh karena keterlambatan angkutan udara adalah wajib dipertanggungjawabkan oleh pihak yang mengoperasikan pesawat udara atau pengangkut. Melengkapi ketentuan tentang ganti rugi keterlambatan sebagaimana di atur dalam Permenhub 25/2008, Pasal 10 Permenhub 77/2011 menetapkan sebagai berikut: --> Terhadap keterlambatan lebih dari 4 jam wajib diberikan ganti rugi sebesar Rp.300.000 per penumpang; --> Diberikan ganti kerugian sebesar 50% dari ketentuan huruf a apabila pengangkut menawarkan tempat tujuan lain yang terdekat dengan tujuan penerbangan akhir penumpang (re-routing), dan pengangkut wajib menyediakan tiket penerbangan lanjutan atau menyediakan transportasi lain sampai ke tempat tujuan apabila tidak ada moda transportasi selain angkutan udara; --> Dan, dalam hal dialihkan kepada penerbangan berikutnya atau penerbangan milik perusahaan angkutan udara niaga berjadwal wajib lainnya, penumpang dibebaskan dari biaya tambahan, termasuk peningkatan kelas pelayanan (up grading class) dan serta apabila terjadi penurunan kelas atau sub kelas pelayanan, maka terhadap penumpang wajib diberikan sisa uang kelebihan dari tiket yang dibeli.
Yang patut disimak adalah penyebab keterlambatan seperti faktor cuaca dan teknis operasional tidak dapat dijadikan alasan untuk menghindar dari kewajiban pemberian ganti rugi seperti yang diperkenankan oleh Pasal 146 UU Penerbangan.
Gugatan Ganti Rugi
David M.L. Tobing, seorang advokat di Jakarta pernah menggugat PT Lion Mentari Airlines selaku pemilik maskapai penerbangan Wings Air sehubungan dengan fakta bahwa pesawat Wings Air yang seharusnya ia tumpangi terlambat selama 3,5 jam dari jadwal yang tertera pada tiket. Pihak petugas darat maskapai Wings Air di bandara pun tidak memberikan terdapat informasi yang jelas mengenai status keterlambatan pesawat. Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat memutuskan bahwa PT Lion Mentari Airlines terbukti bersalah dan harus membayar ganti kerugian sebesar Rp 718.500 dan biaya perkara Rp 1.134.000 kepada David M.L. Tobing.
Melihat jumlah ganti rugi yang ditetapkan untuk dibayar, kelihatannya PN Jakarta Pusat tidak memperhitungkan kerugian immateril yang dialami oleh David M.L. Tobing oleh karena adanya keterlambatan pesawat dan kurangnya informasi keterlambatan selama 3,5 jam tersebut. Namun terlepas dari minimnya jumlah ganti rugi tersebut, kasus David M.L. Tobing menujukkan bahwa pihak maskapai penerbangan atau pengangkut mempunyai kewajiban memenuhi ganti rugi sehubungan dengan atau dalam hal terjadi keterlambatan dalam penerbangan. Putusan PN Jakarta Pusat dalam kasus David M.L. Tobing tersebut telah pula bersifat final yaitu telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dan Mahkamah Agung Republik Indonesia, sehingga logika hukum dan landasan hukum yang dipakai dalam kasus itu diharapkan akan diterapkan dalam kasus-kasus serupa di masa mendatang.
Asuransi Tanggung Jawab
Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Perhubungan telah pula mewajibkan pihak maskapai penerbangan atau pengangkut untuk mengasuransikan seluruh tanggung jawab pengangkutan termasuk tanggung jawab dalam hal terjadi keterlambatan penumpang, bagasi atau kargo kepada pihak ketiga atau konsorsium asuransi (Pasal 16 Permenhub 77/2011). Direktur Jenderal Perhubungan Udara (Dirjen Hubud) mempunyai kewajiban untuk melakukan evaluasi secara berkala terhadap pelaksanaan asuransi tanggung jawab pengangkut. Dan selanjutnya, pengangkut dan perusahaan asuransi wajib melaporkan pelaksanaan asuransi tanggung jawab pengangkut angkutan udara kepada Dirjen Hubud dengan secara berkala atau setiap kali terjadi perubahan pertanggungan.
Hal di atas berarti bahwa apabila para pengangkut benar-benar mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan untuk melakukan asuransi pertanggung jawaban keterlambatan dan melaporkan pelaksanaan asuransi kepada Dirjen Hubud sesuai dengan kenyataan yang benar terjadi di penerbangan di Indonesia maka bisa dibayangkan betapa banyaknya klaim dan laporan yang seharusnya dimasukkan kepada Dirjen Hubud. Selanjutnya, jika benar terjadi begitu banyak keterlambatan dan banyak klaim, maka Dirjen Hubud sudah seharusnya melakukan penindakan terhadap pengangkut yang terus menerus terlambat atau yang tidak memberikan ganti rugi keterlambatan kepada penumpang pesawat udara.
Dalam kenyataannya saat ini, masih jarang sekali atau bahkan mungkin belum ada pengangkut yang memberikan ganti rugi berupa uang apabila terjadi keterlambatan lebih dari 4 jam. Bahkan pengangkut yang secara konsisten memberikan makanan dan minuman dalam hal keterlambatan lebih dari 30 menit pun masih sangat jarang. Artinya kesadaran untuk memenuhi tanggung jawab keterlambatan masih sangat minim di kalangan pengangkut.
Mungkin adalah tidak mengherankan apabila sering sekali terjadi ketidakbecusan pelayanan penerbangan udara oleh pengangkut. Semua peraturan perundang-undangan yang dibahas di sini, baik UU Perhubungan, Permenhub 25/2008 mau pun Permenhub 77/2011 sama sekali tidak mengatur khusus sanksi apa yang dapat diberikan kepada pengangkut yang terus menerus terbukti melakukan keterlambatan pengangkutan udara dan yang tidak memberikan ganti rugi kepada penumpang dalam hal keterlambatan. Jika tidak ada ancaman sanksi atau penindakan maka adalah tidak mengherankan jika keterlambatan pengangkutan udara di Indonesia benar-benar merupakan hal yang dianggap wajar-wajar saja oleh pengangkut. Sehingga, frustasi dan kemarahan penumpang yang merasa dirugikan karena keterlambatan adalah sia-sia adanya.
Sumber
ConversionConversion EmoticonEmoticon