Sebelum tahun 2000an, pesawat masih
menjadi sarana transportasi mahal yang tak bisa dinikmati oleh banyak
kalangan di Indonesia. Sebagian orang hanya bisa bermimpi untuk mampu
menggunakan moda transportasi udara ini. Jangankan menaikinya,
membayangkan seperti apa rasanya terbang di dalam burung besi ini
mungkin tak pernah terlintas di benak kebanyakan orang saat itu.
Saat itu, dunia penerbangan Indonesia
hanya terbatas pada segelintir maskapai yang sudah lama berdiri seperti
Garuda Indonesia, Merpati, Bouraq, Mandala, dan beberapa pendatang baru
seperti Sempati. Sulitnya mendapatkan izin dari pemerintah untuk
mendirikan maskapai baru membuat dunia penerbangan Indonesia tidak
kompetitif dan cenderung stagnan.
Deregulasi penerbangan yang diterapkan
pemerintah Indonesia pada tahun 2000 kemudian mengubah segalanya.
Pemerintah memberikan izin bagi maskapai penerbangan baru untuk
menerbangi rute-rute gemuk dan juga mencabut larangan masuk dan izin
pengoperasian pesawat yang diatur dalam Keputusan Presiden no 33 tahun
2000. Dengan demikian maskapai bebas menentukan tipe pesawat yang akan
dioperasikannya tanpa batasan umur, asalkan memenuhi persyaratan dan
kelaikan udara.
Dalam Keputusan Menteri Perhubungan no
11 tahun 2001, pemerintah bahkan mengizinkan maskapai untuk
mengoperasikan hanya dua pesawat dalam menjalankan operasional
penerbangannya, sekalipun pesawat-pesawat tersebut masih dalam proses
negosiasi. Tak heran, maskapai penerbangan kemudian tumbuh pesat bak
jamur di musim hujan. Jika sebelum tahun 2000 hanya ada 5 maskapai
penerbangan besar berjadwal, pasca deregulasi ini jumlah tersebut
meningkat tiga kali lipat menjadi 15 maskapai.
Dari buku Aviapedia ensiklopedia
penerbangan, dinyatakan sebelum deregulasi ini diterapkan pemerintah,
jumlah penumpang angkutan udara di Indonesia pada tahun 1998 hanya
berkisar 6 juta penumpang per tahun. Namun pasca deregulasi, yaitu tahun
2009, jumlah penumpang angkutan udara melonjak drastis menjadi 40 juta
penumpang per tahun.
Maskapai penerbangan sendiri tanpa
basa-basi kemudian mendatangkan pesawat-pesawat yang seharusnya sudah
masuk kategori ‘pensiun’, seperti Boeing 727 yang saat itu dioperasikan
oleh Mandala, Indonesia Airlines, Efata Papua, dan beberapa maskapai
lain. Bahkan Lion Air di awal pendiriannya sempat menggunakan pesawat
buatan Rusia, Yak-42.
Tak hanya itu, pemerintah juga
membiarkan penentuan harga tiket pesawat berdasarkan mekanisme pasar,
tidak lagi ditetapkan pemerintah seperti sebelumnya. Pemerintah hanya
menetapkan batas atas dan batas bawah yang boleh dijual oleh maskapai.
Dengan adanya pembebasan harga ini, otomatis maskapai berlomba menjual
tiket semurah mungkin demi mendapatkan pelanggan. Perang harga tak
terelakkan, semuanya berlomba membanting harga demi merusak pasar
maskapai pesaingnya.
Persaingan yang sangat ketat ini
akhirnya memakan korban. Beberapa maskapai terjebak di dalam perang
harga dan tak mampu bersaing, dan akhirnya terpaksa gulung tikar.
Bouraq, Sempati Air, Air Wagon, Star Air, Jatayu, Kartika Airlines,
Indonesia Airlines, hanyalah segelintir maskapai yang terpaksa
mengangkat bendera putih, menyerah pada persaingan yang teramat ketat.
Di tahun-tahun berikutnya beberapa nama juga turut gulung tikar, seperti
Batavia Air dan Mandala.
Sayangnya, pertumbuhan yang sangat pesat
sejak awal tahun 2000an ini tak diimbangi dengan pengawasan yang cukup
dari pihak Kementerian Perhubungan. Dan akibatnya musibah demi musibah
silih berganti terjadi di dunia penerbangan kita. Sekedar mengambil
contoh kasus besar, musibah tergelincirnya pesawat MD-82 Lion Air di
Solo pada tahun 2004, jatuhnya pesawat Boeing 737-200 Mandala Airlines
di Medan tahun 2005, jatuhnya pesawat Adam Air KI-574 di Laut Majene
tahun 2007, dan tergelincirnya pesawat Boeing 737-400 Garuda Indonesia
di Yogyakarta tahun 2007, mewarnai titik hitam dalam sejarah penerbangan
Indonesia. Situs Aviation Safety Network sempat mencatat tingginya
tingkat kecelakaan pesawat Indonesia terjadi sekitar tahun 2005 hingga
2010.
Akibat kejadian-kejadian ini, kategori
peringkat keselamatan Indonesia di dunia juga turun. Jika sebelumnya
Indonesia berada dalam peringkat I kategori keselamatan penerbangan
versi Federal Aviation Administration (FAA), mulai 16 April 2007
Indonesia diturunkan menempati peringkat II. Bahkan, pada tanggal 4 Juli
2007 seluruh maskapai penerbangan Indonesia dilarang untuk melakukan
penerbangan ke Uni Eropa.
Melewati tahun 2010, pertumbuhan dunia
penerbangan Indonesia tumbuh semakin pesat, bahkan sangat mencengangkan.
Bandara-bandara di Indonesia tak lagi mampu menangani jumlah penumpang
yang terus tumbuh dari waktu ke waktu. Pada tahun 2013, jumlah penumpang
di Bandara Soekarno – Hatta sudah mencapai 62 juta penumpang, jauh
diatas kapasitas bandara yang hanya 20 juta penumpang per tahun. Dan hal
ini juga dialami hampir seluruh bandara besar di Indonesia.
Saat ini Indonesia juga tercatat sebagai
salah satu negara dengan tingkat pertumbuhan industri penerbangan
tertinggi di dunia, yaitu mencapai 14-20 persen per tahun, dan menempati
peringkat dua setelah China. Bahkan menurut kajian lembaga konsultan
McKinsey & Co, Indonesia akan menjadi negara dengan peringkat
ekonomi nomor tujuh dunia pada 2030 dan akan menghasilkan 90 juta
konsumen baru yang ingin menggunakan moda transportasi udara ini.
Dengan segala kondisi ini, sudah saatnya
pemerintah lebih mengatur industri penerbangan Indonesia dengan
penerapan aturan yang sebaik-baiknya. Pengawasan terhadap maskapai
penerbangan juga harus lebih ketat, dimana maskapai tak boleh lagi
bermain-main dengan faktor safety. Selain itu, kongkalikong
antara pihak regulator dan maskapai demi mensiasati berbagai aturan,
tidak boleh sampai terjadi. Pelatihan awak pesawat, faktor perawatan dan
penggantian suku cadang merupakan hal-hal dasar yang perlu mendapat
pengawasan ketat dari regulator.
Di sisi lain, peningkatan infrastruktur
seperti bandara dan faktor penunjang lainnya harus lebih digiatkan agar
tidak tertinggal. Selain itu, peningkatan faktor keselamatan penerbangan
di bandara juga harus mendapat perhatian serius pemerintah. Kalau
perlu, pemerintah sebaiknya membuat satu badan khusus yang mengawasi
keamanan di bandara yang bertanggung jawab langsung pada Menteri
Perhubungan, seperti Transportation Security Administration (TSA) di
Amerika Serikat.
Dengan segala upaya ini, kita semua
tentunya berharap dunia penerbangan Indonesia dapat kembali disegani di
dunia dan mampu menjadi moda transportasi yang sangat aman, nyaman dan
terjangkau masyarakat.
ConversionConversion EmoticonEmoticon